A. SEJARAH PEMIDANAAN ANAK DIBAWAH
UMUR
Pada abad 19
negara-negara barat mulai menyadari tentang pentingnya diadakan suatu aturan
yang secara khusus mengatur tindak pidana anak. Kesadaran ini didasarkan pada keprihatinan
Negara-negara eropa dan amerika atas banyaknya kriminalitas yang dilakukan oleh
anak dan pemuda. Dalam menghadapi phenomena tersebut, pemerintah masih menggunakan
hukum yang sama kepada pelaku anak yang dibawah umur dan orang dewasa karena memang
tidak adanya aturan pemisah antara kriminalitas anak dan orang dewasa,
menyadari hal tersebut pemerintah memutuskan untuk dilakukan usaha-usaha ke arah
perlindungan anak. Langkah awal adalah dengan membentuk pengadilan anak (Juvenile Court) untuk pertama kalinya di
Minos, Amerika Serikat tahun 1889, yang manaundang-undang didasarkan pada asas parens patriae.[1] Yang berarti penguasa harus bertindak apabila
anak-anak membutuhkan pertolongan, sedangkan anak dan pemuada yang melakukan kejahatan
sebaiknya tidak diberi pidana melainkan harus dilindungi dan diberi bantuan.
Di inggris ada yang
disebut hak preogratif maksudnya raja adalah sebagai parens patriae (melindungi
rakyat dan anak-anak yang membutuhkan bantuan. Oleh sebabnya ikut campurnya
pengadilan dalam perkara ini adalah ditujukan kepada pelindungan anak apabila
keadaaan anak kurang menguntungkan bahkan cenderung membahayakan anak,
eksploitasi anak dan kriminalisasi yang dilakukan oleh anak serta lainnya.
Sedangkan di Indonesia
melihat tatanan hukumnya yang mengadopsi hokum belanda maka kita juga harus
terlebih dahulu meninjau bagaimana perkembangan tentang pemidanaan anak di
negeri tersebut. Di belanda dengan diawalinya pembentukan Wetboek van Strafrecht maka kita mengetahui bahwa didalamnya
terdapat pasal-pasal yang menyebutkan bahwa anak yang berumur kurang dari 10
tahun apabila melakukan tindak pidana maka dia tidak boleh diberikan sanksi.
Namun bila anak sudah berumur 10-16 tahun maka hakim terlebih dahulu menanyakan
apakah dia dengan sengaja dan secara sadar melakukan tindakan tersebut, bila
dia menjawab benar maka dapat dijatuhi hukuman maksimal hukuman orang dewasa
dikurangi 1/3 -nya. Akan tetapi bila jawabannya tidak maka hakim tidak dapat
menjatuhi hukuman pidana kepadanya, tapi bila tindakannya tergolong dalam
tindak pidana berat maka hakimdapat memerintahkan pelaku untuk masuk kedalam
lembaga pendidikan kerajaan.
Dengan penjelasan
diatas menandakan perubahan bahwa halkim dalam memerikasa perkara anak
sebenarnya tidak lagi menggunakan asas Ordeel des onderscheids (dapat membuat
penilaian atas tindakannya dan menyadari sifat yang terlarang dalam tindakannya
tersebut). Yang dipentingkan dalam hal ini adalah
pendidikan yang diberikan kepada pelaku, diiringi dengan dibuatnya peraturan
dan tindakan-tindakan yang lebih tepat bagi anak-anak pelaku tindak pidana
dibawah umur. Oleh karena itu hakim dalam hal ini tidak lagi berasumsi apakah
anak-anak dapat dihukum atau tidak, tapi tindakan bagaimanakah yang harus
dilakukan untuk mendidiknya.
Selanjutnya pengadilan
belanda dilengkapi dengan kinder
strafrecht dan dibentuknya kinder
rechter atau hakim anak dengan undang-undang 5 juli 1921 yang bareu berlaku
1 november 1922. Dengan demikian negeri belanda sebenarnya sudah memiliki
aturan yang cukup dalam perradilan anak, namun ternyata hokum belanda tersebut
ternyata tidak seluruhnya dianut dan diberlakukan di Indonesia sebagai Negara
jajahan. KUHPidana hanya memuat beberapa pasal saja tentang pelindungan
terhadap kepentingan anak antara lain: 45, 46, dan 47 KUHPidana dan pasal-pasal
lain yaitu pasal 39 ayat (3), pasal 40, serta pasal 72 ayat (2) KUHPidana.
Sedangkan sejarah
terbentuknya pidana anak di Indonesia adalah dimulai pada tahun 1954, sebagai
ibu kota Negara di Jakarta sudah terbentuk hakim yang khusus mengadili
anak-anak, tapi penahanan pada umumnya masih dicampur dengan orang dewasa.
Tahun 1957 pemerintah semakin meningkatkan perhatiaanya kepada bentuk pidana
anak, salah satu caranya adalah dengan mengirim beberapa organ pemerintah yang
terkait dengan penanganan tindak pidana anak ke luar negeri untuk mempelajari
bagaimana penanganan yang terbaik dari mulai penyidikan sampai penyelesaiannya,
organ pemerintah tersebut adalah kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman.
Keperluan terhadap
lembaga Negara yang memadai untuk pelaku tindak pidana anak adalah diperbaiki
dengan dikeluarkannya Undang-undang No.3 tahun 1997 pada tanggal 3 januari
tentang pengadilan anak. Dalam undang-undang ini terdapat perbedaan dalam hokum
acaranya, dari mulai penyidikan sampai pemeriksaan terhadap anak-anak,
perbedaan juga terdapat pada ancaman hukumannya yaitu paling lama ½ dari
maksimum ancaman pidana terhadap orang
dewasa, sedangkan penjatuhan hukuman mati dan seumur hidup tidak diberlakukan
terhadap anak. Dalam undang-undang tersebbut sanksi ditentukan juga oleh umur, yaitu
bagi anak yang berumur 8-12 tahun hanya dikenakan tindakan, sedangkan anak yang
berumur 12-18 tahun dapat dijatuhi pidana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar