Senin, 23 September 2013

PIDANA ANAK


A. SEJARAH PEMIDANAAN ANAK DIBAWAH UMUR

Pada abad 19 negara-negara barat mulai menyadari tentang pentingnya diadakan suatu aturan yang secara khusus mengatur tindak pidana anak. Kesadaran ini didasarkan pada keprihatinan Negara-negara eropa dan amerika atas banyaknya kriminalitas yang dilakukan oleh anak dan pemuda. Dalam menghadapi phenomena tersebut, pemerintah masih menggunakan hukum yang sama kepada pelaku anak yang dibawah umur dan orang dewasa karena memang tidak adanya aturan pemisah antara kriminalitas anak dan orang dewasa, menyadari hal tersebut pemerintah memutuskan untuk dilakukan usaha-usaha ke arah perlindungan anak. Langkah awal adalah dengan membentuk pengadilan anak (Juvenile Court) untuk pertama kalinya di Minos, Amerika Serikat tahun 1889, yang manaundang-undang didasarkan pada asas parens patriae.[1]  Yang berarti penguasa harus bertindak apabila anak-anak membutuhkan pertolongan, sedangkan anak dan pemuada yang melakukan kejahatan sebaiknya tidak diberi pidana melainkan harus dilindungi dan diberi bantuan.
Di inggris ada yang disebut hak preogratif maksudnya raja adalah sebagai parens patriae (melindungi rakyat dan anak-anak yang membutuhkan bantuan. Oleh sebabnya ikut campurnya pengadilan dalam perkara ini adalah ditujukan kepada pelindungan anak apabila keadaaan anak kurang menguntungkan bahkan cenderung membahayakan anak, eksploitasi anak dan kriminalisasi yang dilakukan oleh anak serta lainnya.
Sedangkan di Indonesia melihat tatanan hukumnya yang mengadopsi hokum belanda maka kita juga harus terlebih dahulu meninjau bagaimana perkembangan tentang pemidanaan anak di negeri tersebut. Di belanda dengan diawalinya pembentukan Wetboek van Strafrecht maka kita mengetahui bahwa didalamnya terdapat pasal-pasal yang menyebutkan bahwa anak yang berumur kurang dari 10 tahun apabila melakukan tindak pidana maka dia tidak boleh diberikan sanksi. Namun bila anak sudah berumur 10-16 tahun maka hakim terlebih dahulu menanyakan apakah dia dengan sengaja dan secara sadar melakukan tindakan tersebut, bila dia menjawab benar maka dapat dijatuhi hukuman maksimal hukuman orang dewasa dikurangi 1/3 -nya. Akan tetapi bila jawabannya tidak maka hakim tidak dapat menjatuhi hukuman pidana kepadanya, tapi bila tindakannya tergolong dalam tindak pidana berat maka hakimdapat memerintahkan pelaku untuk masuk kedalam lembaga pendidikan kerajaan.
Dengan penjelasan diatas menandakan perubahan bahwa halkim dalam memerikasa perkara anak sebenarnya tidak lagi menggunakan asas Ordeel des onderscheids (dapat membuat penilaian atas tindakannya dan menyadari sifat yang terlarang dalam tindakannya tersebut). Yang dipentingkan dalam hal ini adalah pendidikan yang diberikan kepada pelaku, diiringi dengan dibuatnya peraturan dan tindakan-tindakan yang lebih tepat bagi anak-anak pelaku tindak pidana dibawah umur. Oleh karena itu hakim dalam hal ini tidak lagi berasumsi apakah anak-anak dapat dihukum atau tidak, tapi tindakan bagaimanakah yang harus dilakukan untuk mendidiknya.
Selanjutnya pengadilan belanda dilengkapi dengan kinder strafrecht dan dibentuknya kinder rechter atau hakim anak dengan undang-undang 5 juli 1921 yang bareu berlaku 1 november 1922. Dengan demikian negeri belanda sebenarnya sudah memiliki aturan yang cukup dalam perradilan anak, namun ternyata hokum belanda tersebut ternyata tidak seluruhnya dianut dan diberlakukan di Indonesia sebagai Negara jajahan. KUHPidana hanya memuat beberapa pasal saja tentang pelindungan terhadap kepentingan anak antara lain: 45, 46, dan 47 KUHPidana dan pasal-pasal lain yaitu pasal 39 ayat (3), pasal 40, serta pasal 72 ayat (2) KUHPidana.
Sedangkan sejarah terbentuknya pidana anak di Indonesia adalah dimulai pada tahun 1954, sebagai ibu kota Negara di Jakarta sudah terbentuk hakim yang khusus mengadili anak-anak, tapi penahanan pada umumnya masih dicampur dengan orang dewasa. Tahun 1957 pemerintah semakin meningkatkan perhatiaanya kepada bentuk pidana anak, salah satu caranya adalah dengan mengirim beberapa organ pemerintah yang terkait dengan penanganan tindak pidana anak ke luar negeri untuk mempelajari bagaimana penanganan yang terbaik dari mulai penyidikan sampai penyelesaiannya, organ pemerintah tersebut adalah kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman.
Keperluan terhadap lembaga Negara yang memadai untuk pelaku tindak pidana anak adalah diperbaiki dengan dikeluarkannya Undang-undang No.3 tahun 1997 pada tanggal 3 januari tentang pengadilan anak. Dalam undang-undang ini terdapat perbedaan dalam hokum acaranya, dari mulai penyidikan sampai pemeriksaan terhadap anak-anak, perbedaan juga terdapat pada ancaman hukumannya yaitu paling lama ½ dari maksimum ancaman pidana  terhadap orang dewasa, sedangkan penjatuhan hukuman mati dan seumur hidup tidak diberlakukan terhadap anak. Dalam undang-undang tersebbut sanksi ditentukan juga oleh umur, yaitu bagi anak yang berumur 8-12 tahun hanya dikenakan tindakan, sedangkan anak yang berumur 12-18 tahun dapat dijatuhi pidana.



[1] Dr. Wagiati Soetudjo, S.H., M.S. “HukumPidanaAnak”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar