Selasa, 16 Juni 2015

Tradisi Ayun Pengantin

D. Tradisi Ayun Pengantin dalam Pernikahan Masyarakat Kabupaten Serang Ditinjau dari Perspektif Hukum

Indonesia adalah negara yang dibangun oleh pilar-pilar keragaman. Baik itu etnik, budaya, adat maupun agama. Untuk yang terakhir, agama di Indonesia hadir dan berkembang dengan segala norma yang mengikat setiap penganutnya. Selanjutnya, norma ini mulai menyerap dalam institusi masyarakat.
Berangkat dari keragaman etnik, budaya, dan adat yang ada di Indonesia maka hal ini juga tidak dapat dihindarkan dari prkatik perkawinan yang ada dalam agama Islam. Praktik perkawinan pada akhirnya dimasuki oleh tradisi-tradisi termasuk di antaranya adalah tradisi ayun pengantin yang dilaksanakan oleh masyarakat Kabupaten Serang.
Tradisi ayun pengantin sesungguhnya adalah suatu kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat Kabupaten Serang dalam melaksanakan perkawinan. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya tradisi ini adalah khusus untuk perkawinan anak Nanggung Bugang dan Mendeg bulan Safar. Belum ada yang mengetahui dari mana asal-usul tradisi ini tapi yang jelas tradisi ini masih hidup dan dilaksanakan turun-temurun secara utuh oleh masyarakatnya.
Tradisi bukanlah sesuatu yang harus dikhawatirkan selama tradisi itu tidak bertentangan dengan syariat Islam. Tradisi juga bukanlah sesuatu yang harus dihapuskan hanya karena tidak terdapat pada masa Nabi sehingga pelaksanaannya dianggap bidah dan bertentangan dengan Islam. Tradisi harus dipandang sebagai sebuah ekspresi seni, luapan kegembiraan, dan sebagai media komunikasi dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Apabila kita perhatikan dalam pelaksanaan tradisi Ayun Pengantin terdapat nilai seni yang sangat tinggi terutama pada syair-syair yang dibacakan sekaligus dinyanyikan oleh tokoh adat. Syair-syair yang terdapat dalam tradisi ini bernuansakan Islami, mengagungkan keesaan Allah SWT, meyakini tentang Nabi-Nabi Nya, dan menceritakan peristiwa-peristiwa alam yang semuanya terjadi atas kehendak dan kekuasaan Allah SWT.
Pelaksanaan tradisi Ayun Pengantin juga sesungguhnya sebagai simbol luapan kegembiraan dan kesyukuran atas segala nikmat yang telah diberikan Allah Swt. Nikmat itu tidak lain adalah dengan diberikannya kesehatan dan panjang umur sehingga sang anak bisa menemukan jodohnya dan menikah dengan pasangannya tersebut. Tradisi Ayun Pengantin juga dijadikan sebagai media komunikasi dari generasi ke generasi berikutnya tanpa terputus sehingga tradisi ini masih dilaksanakan sampai saat ini. Dari tradisi ini kita mendapatkan banyak informasi bagai mana para pendahulu kita melaksanakan perkawinan khususnya untuk anak yang telah ditinggal mati oleh kakak dan adiknya atau anak yang lahir di bulan Safar.
Memang dalam Islam tidak terdapat pengkhususan dalam pelaksanaan perkawinan namun Islam juga tidak mengatur secara rinci bagaimana seharusnya perkawinan dilaksanakan. Dalam hal ini bukan berarti Islam tidak sempurna, justru dengan ini Islam semakin menunjukan kesempurnaannya dengan menyadari secara sungguh-sungguh bahwa pelaksanaan perkawinan adalah dalam ranah budaya, tradisi, dan adat daerahnya masing-masing.
Keharusan pelaksanaan tradisi ayun pengantin dalam perkawinan masyarakat Kabupeten Serang untuk anak Nanggung Bugang atau anak Mandeg bulan Safar sesunggunhya tidak membatalkan perkawinan, karena memang perkawinan dalam Islam sudah dianggap sah apabila memenuhi syarat dan rukunya, dan dicatatkan menurut hukum positif di Indonesia. Keharusan ini dipandang sebagai luapan kegembiraan sehingga bagi masyarakat apabila tidak dilaksanakan ayun pengantin akan mengurangi kegembiraan dalam pesta perkawinannya.
Dengan adanya pelaksanaan tradisi ayun pengantin terdapat suatu keunikan karena dengan adanya ini maka bisa dilihat hukum islam, hukum perkawinan Indonesia, dan hukum adat tercampur menjadi satu. Kesemuanya hidup dalam satu objek dan tidak terjadi gesekan, ini dibuktikan dengan masyarakat yang melaksanakannya dengan senang hati dan tanpa ada paksaan.
Islam adalah agama yang sangat menghargai budaya, tradisi, dan adat pengikutnya. Bahkan tidak sedikit dari budaya, tradisi, dan adat tersebut dijadikan sebagai media penyebaran agama Islam, hal inilah yang membuat ajaran Islam masuk ke dalam hati setiap penganutnya.
Pengakuan Islam terhadap tradisi yang berlaku di masyarakat ini juga semakin menguatkan bahwa sungguh Islam diturunkan adalah sebagai “rahmatan lil alamin”. Dalam ilmu ushul fiqih ada dalil yang dapat menerima suatu tradisi atau adat sebagai hukum yaitu ‘Urf. ‘Urf adalah sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan dikalangan ahli ijtihad atau bukan ahli ijtihad, baik yang berbentuk kata-kata atau perbuatan. ‘Urf ada dua macam, yaitu: ‘Urf yang shahih, dan ‘Urf yang fasid.
‘Urf yang sahih adalah sesuatu yang saling dikenal oleh manusia, dan tidak bertentangan dengan dalil syariat, tidak menghalalkan sesuatu yang diharamkan, dan tidak pula membatalkan sesuatu yang wajib. Adapun ‘Urf yang fasid adalah sesuatu yang sudah menjadi tradisi manusia, akan tetapi tradisi itu bertentangan dengan syariat, atau menghalalkan sesuatu yang diharamkan, atau membatalkan sesuatu yang wajib.
Dengan penjelasan di atas maka jelas tradisi ayun pengantin adalah termasuk ‘Urf yang shahih karena tidak bertentangan dengan syara’, tidak menghalalkan sesuatu yang diharamkan, dan tidak pula membatalkan sesuatu yang wajib. Bahkan dalam syair-syair yang dibacakan dan dinyanyikan menceritakan keesaan dan keagungan Allah SWT, dan doa-doa yang ada di dalamnya pun ditujukan kepada Nya. Kaidah fikih menyebutkan “العادة محكمة”, adat istiadat adalah hukum.
Jadi jelaslah bahwa adat sesungguhnya bisa dijadikan hukum dan dalam Islam dibolehkan menjalankannya selama tidak bertentangan dengan akidah dan prinsip-prinsip yang ada dalam Islam. Dalam Pasal 28E Ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 perubahan kedua dijelaskan bahwa: “setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nurani”. Ini semakin mempertegas bahwa pada dasarnya setiap orang merdeka dalam tindakannya, baik dalam hal adat istiadat, agama, dan segala sesuatu yang diyakininya. Kesemua itu dibenarkan dan dijamin pelaksanaannya oleh Negara.

Rabu, 02 Oktober 2013

PEMBUKTIAN DALAM HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA

A. Pengertian
R. Subekti menuturkan bahwa pembuktian adalah suatu upaya dari para pihak yang beperkara untuk meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil-dalil yang dikemukakannya di dalam suatu perkara yang sedang dipersengketakan di muka pengadilan, atau yang diperiksa oleh hakim.
Abdul Manan mengartikan pembuktian adalah upayapara pihak yang berperkara untuk meyakinkan hakim akan kebenaran peristiwaatau kejadian yangdiajukan oleh para pihak yang bersengketa dengan alat-alat buktiyang ditetapkanoleh undang-undang.
Membuktikan artinya mempertimbangkan secara logis kebenaran suatu fakta/peristiwa berdasarkan alat-alat bukti yang sah menurut hukum pembuktian yang berlaku.
B. Tujuan Pembuktian
Untuk memperoleh kepastian bahwa suatu peristiwa/ fakta yang diajukan itu benar terjadi, yang dibuktikan kebenarannya, sehingga nampak adanya hubungan hukum antara para pihak .
C. Teori Pembuktian
Teori Pembuktian Bebas adalah Teori ini tidak menghendaki adanya ketentuan-ketentuan yang mengikat hakim.
Teori Pembuktian negatif adalah dimana hakim terikat dengan ketentuan-ketentuan yang bersifat negatif sehingga membatasi hakim untuk melakukan sesuatu.
Teori Pembuktian Positif adalah dimana hakim diwajibkan untuk melakukan segala tindakan dalam pembuktian, kecuali yang dilarang dalam Undang-Undang.
D. Hukum Pembuktian
1.Bersifat mencari kebenaran formil
2.Tidak disyaratkan adanya keyakinan hakim
3.Alat bukti harus memenuhi syarat formil dan materil
4.Hakim wajib menerapkan hukum pembuktian
E. Macam-macam alat bukti
Pasal 164 HIR
•Alat bukti surat
•Alat bukti saksi
•Alat bukti persangkaan
•Alat bukti pengakuan
•Alat bukti sumpah
Tambahan
•Pemeriksaaan ditempat (pasal 153 HIR)
•Saksi ahli (pasal 154 HIR)
•Pembukuan (pasal 167 HIR)
•Pengetahuan Hakim (pasal 178 (1) HIR, UU-MA No.14/1985)

Senin, 23 September 2013

PIDANA ANAK


A. SEJARAH PEMIDANAAN ANAK DIBAWAH UMUR

Pada abad 19 negara-negara barat mulai menyadari tentang pentingnya diadakan suatu aturan yang secara khusus mengatur tindak pidana anak. Kesadaran ini didasarkan pada keprihatinan Negara-negara eropa dan amerika atas banyaknya kriminalitas yang dilakukan oleh anak dan pemuda. Dalam menghadapi phenomena tersebut, pemerintah masih menggunakan hukum yang sama kepada pelaku anak yang dibawah umur dan orang dewasa karena memang tidak adanya aturan pemisah antara kriminalitas anak dan orang dewasa, menyadari hal tersebut pemerintah memutuskan untuk dilakukan usaha-usaha ke arah perlindungan anak. Langkah awal adalah dengan membentuk pengadilan anak (Juvenile Court) untuk pertama kalinya di Minos, Amerika Serikat tahun 1889, yang manaundang-undang didasarkan pada asas parens patriae.[1]  Yang berarti penguasa harus bertindak apabila anak-anak membutuhkan pertolongan, sedangkan anak dan pemuada yang melakukan kejahatan sebaiknya tidak diberi pidana melainkan harus dilindungi dan diberi bantuan.
Di inggris ada yang disebut hak preogratif maksudnya raja adalah sebagai parens patriae (melindungi rakyat dan anak-anak yang membutuhkan bantuan. Oleh sebabnya ikut campurnya pengadilan dalam perkara ini adalah ditujukan kepada pelindungan anak apabila keadaaan anak kurang menguntungkan bahkan cenderung membahayakan anak, eksploitasi anak dan kriminalisasi yang dilakukan oleh anak serta lainnya.
Sedangkan di Indonesia melihat tatanan hukumnya yang mengadopsi hokum belanda maka kita juga harus terlebih dahulu meninjau bagaimana perkembangan tentang pemidanaan anak di negeri tersebut. Di belanda dengan diawalinya pembentukan Wetboek van Strafrecht maka kita mengetahui bahwa didalamnya terdapat pasal-pasal yang menyebutkan bahwa anak yang berumur kurang dari 10 tahun apabila melakukan tindak pidana maka dia tidak boleh diberikan sanksi. Namun bila anak sudah berumur 10-16 tahun maka hakim terlebih dahulu menanyakan apakah dia dengan sengaja dan secara sadar melakukan tindakan tersebut, bila dia menjawab benar maka dapat dijatuhi hukuman maksimal hukuman orang dewasa dikurangi 1/3 -nya. Akan tetapi bila jawabannya tidak maka hakim tidak dapat menjatuhi hukuman pidana kepadanya, tapi bila tindakannya tergolong dalam tindak pidana berat maka hakimdapat memerintahkan pelaku untuk masuk kedalam lembaga pendidikan kerajaan.
Dengan penjelasan diatas menandakan perubahan bahwa halkim dalam memerikasa perkara anak sebenarnya tidak lagi menggunakan asas Ordeel des onderscheids (dapat membuat penilaian atas tindakannya dan menyadari sifat yang terlarang dalam tindakannya tersebut). Yang dipentingkan dalam hal ini adalah pendidikan yang diberikan kepada pelaku, diiringi dengan dibuatnya peraturan dan tindakan-tindakan yang lebih tepat bagi anak-anak pelaku tindak pidana dibawah umur. Oleh karena itu hakim dalam hal ini tidak lagi berasumsi apakah anak-anak dapat dihukum atau tidak, tapi tindakan bagaimanakah yang harus dilakukan untuk mendidiknya.
Selanjutnya pengadilan belanda dilengkapi dengan kinder strafrecht dan dibentuknya kinder rechter atau hakim anak dengan undang-undang 5 juli 1921 yang bareu berlaku 1 november 1922. Dengan demikian negeri belanda sebenarnya sudah memiliki aturan yang cukup dalam perradilan anak, namun ternyata hokum belanda tersebut ternyata tidak seluruhnya dianut dan diberlakukan di Indonesia sebagai Negara jajahan. KUHPidana hanya memuat beberapa pasal saja tentang pelindungan terhadap kepentingan anak antara lain: 45, 46, dan 47 KUHPidana dan pasal-pasal lain yaitu pasal 39 ayat (3), pasal 40, serta pasal 72 ayat (2) KUHPidana.
Sedangkan sejarah terbentuknya pidana anak di Indonesia adalah dimulai pada tahun 1954, sebagai ibu kota Negara di Jakarta sudah terbentuk hakim yang khusus mengadili anak-anak, tapi penahanan pada umumnya masih dicampur dengan orang dewasa. Tahun 1957 pemerintah semakin meningkatkan perhatiaanya kepada bentuk pidana anak, salah satu caranya adalah dengan mengirim beberapa organ pemerintah yang terkait dengan penanganan tindak pidana anak ke luar negeri untuk mempelajari bagaimana penanganan yang terbaik dari mulai penyidikan sampai penyelesaiannya, organ pemerintah tersebut adalah kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman.
Keperluan terhadap lembaga Negara yang memadai untuk pelaku tindak pidana anak adalah diperbaiki dengan dikeluarkannya Undang-undang No.3 tahun 1997 pada tanggal 3 januari tentang pengadilan anak. Dalam undang-undang ini terdapat perbedaan dalam hokum acaranya, dari mulai penyidikan sampai pemeriksaan terhadap anak-anak, perbedaan juga terdapat pada ancaman hukumannya yaitu paling lama ½ dari maksimum ancaman pidana  terhadap orang dewasa, sedangkan penjatuhan hukuman mati dan seumur hidup tidak diberlakukan terhadap anak. Dalam undang-undang tersebbut sanksi ditentukan juga oleh umur, yaitu bagi anak yang berumur 8-12 tahun hanya dikenakan tindakan, sedangkan anak yang berumur 12-18 tahun dapat dijatuhi pidana.



[1] Dr. Wagiati Soetudjo, S.H., M.S. “HukumPidanaAnak”

Rabu, 18 September 2013

Hak Asasi Manusia


A.  Pengertian Hak Asasi Manusia

Selama ini, Hak Asasi Manusia sering juga di sebut hak kodrat, hak dasar manusia, hak mutlak atau dalam bahasa inggris di sebut natural right, human right, dan fundamental right. Dalam bahasa Belanda dikenal grond rechten, dan rechten van mens. Dapat diartikan HAM / Hak Asasi Manusia adalah hak yang melekat pada diri setiap manusia yang tanpanya manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia[1]. Oleh karena itu Hak Asasi Manusia melekat sejak awal dilahirkannya yang berlaku seumur hidup dan tidak dapat diganggu gugat siapa pun. Sebagai warga negara yang baik kita mesti menjunjung tinggi nilai hak asasi manusia tanpa membeda-bedakan status, golongan, keturunan, jabatan, dan lain sebagainya

Hak asasi manusia menurut UU No. 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia. Menurut UU ini, hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan kebenaran manusia sebagai makhluk tuhan yang maha esa dan merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan harkat dan martabat manusia.[2]

Istilah-istilah diatas menunjukkan bahwa titik beratnya ialah pengakuan adanya hak manusia sendiri. Dalam kehudupan bermasyarakat, konkretnya dalam praktisi sebagai mana disinggung di atas bahwasannya Hak Asasi bergandeng tangan dan tidak dapat lepas dari kewajiban asasi dan tanggung jawab asasi.

Di abad XVIII Hak Asasi Manusia dipahami sebagai Hak yang berasal dari pembaerian Allah sebagai konsekuensidari manusia sebagai ciptaan Allah, Hak-Hak itu sifatnya kodrat (natural), dalam arti sebagai berikut:[3]

1.      Kodratlah yang menciptakan/mengilhami akal budi dan pengetahuan manusia.

2.      Setiap manusia dialhirkan dengan hak-hak tersebut.

3.      Hak-hak itu dimiliki manusia dalam keadaan alamiyah (state of nature) dan kemudian dibawanya dalam hidup bermasyarakat.

Definisi Hak Asasi Manusia menurut John Locke adalah: hak-hak yang diberikan langsung oleh tuhan yang maha pencipta sebagai hak kodrati.

Adapun ciri Hak Asasi Manusia adalah:

1.      Hak Asasi Manusia tidak perlu diberikan, dibeli atau diwarisi.

2.      Hak Asasi Manusia untuk semua orang tanpa memandang jenis kelamin, suku, agama, ras, dan lain-lain.

3.      Hak Asasi Manusia tidak boleh dilanggar.

B.     Perkemabangan Hak Asasi Manusia Dunia.

1.    Magna Charta

Lahirnya Magna Charta pada tahun 1689 membatasi kekuasaan dan pertanggung jawaban raja dimuka hukum. Hal ini yang mengakibatkan para ahli di Eropa berpendapat bahwa lahirnya Magna Charta sebagai konsep hak asasi manusia. Di dalam pasal 21 Magna Charta dijelaskan: para pangeran dan buruh akan dihukum (didenda) berdasarkan atas kesamaan dan sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan. Kemudian dalam pasal 40 disebutkan: tidak seorang pun menghendaki kita mengigkari atau menunda tegaknya hak dan keadilan.

Dengan adagium tersebut berarti tidak ada perbedaan antara penguasa (yang memerintah) dengan warga Negara (yang diperintah) apabila melakukan pelanggaran hukum.

2.    The French Declaration (Demokrasi Perancis)

The French Declaration (Demokrasi Perancis) lahir tahun 1979. Ketentuan tentang hak dimuat  dalam the rule of law yang antara lain berbunyi: tidak boleh ada penangkapan dan penahanan yang semena-mena termasuk penangkapan yang sah dan penahanan tanpa surat perintah dari pejabat yang sah. Dalam hal ini berlaku prinsip presumption of innocent artinya: praduga tak bersalah.

Kemidian dipertegas oleh prinsip:

Ø  Freedom of expression, artinya: kebebasan berpendapat.

Ø  Freedom of religion, artinya: kebebasan beragama.

Ø  The right of property, artinya: perlindungan hak milik dan hak dasar lainnya.

C.  P erkembangan Pemikiran Hak Asasi Manusia di Indonesia.

1.    Periode sebelum kemerdekaan RI (1908-1944)

Pemikiran hak asasi manusia pada periode ini dengan adanya pergerakan Budi Utomo, yaitu dengan adanya kesadaran berserikat dan mengeluarkan pendapat melalui petisi-petisi yang diajukan kepada Pemerintah Kolonial.

Selanjutnyapemikiran hak asasi manusia menjelang kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945 terjadi dalam siding BPUPKI antara lain:

a.       Hak persamaan kedudukan dimuka Hukum (equality before law)

b.      Hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak.

c.       Hak untuk memeluk agama dan kepercayaan.

2.    Periode setelah Kemerdekaan RI

Ø Periode 1945 s/d 1950

Dengan adanya proklamasi kemerdekaan republik Indonesia 17 Agustus 1945 pemikiran hak asasi manusia dilanjutkan dengan: Hak berorganisasi, hak politik dan hak menyampaikan pendapat di DPR.

Ø Periode 1999 s/d Sekarang

Pada masa ini merupakan masa berakhirnya Era Orde Baru dan akan dimulainya Era Reformasi. Pada awal Era Reformasi, pengaturan hak asasi manusia mengalami perkemabngan yang sangat baik. MPR RI mengadakan sidang dan membuat ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 Tentang Hak Asasi Manusia. Serta membuat rencana aksi nasional hak asasi manusia antara lain:

1.      Persiapan pengesahan perangkat internasional dibidang Hak Asasi Manusia.

2.      Desiminasi informasi dan pendidikan Hak Asasi Manusia.

3.       Penentuan skala perioritas pelaksanaan Hak Asasi Manusia

4.      Pelaksanaan isi perangkat internasional dibidang Hak Asasi Manusia yang telah diratifikasi melalui peraturan perundang-undangan nasional.

D.  Hak Asasi Manusia Dalam Peraturan Perundang-undangan

a.       Pada pasal 27 UUD 1945 dijelaskan:

Ø  Segala warga Negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengantidak ada kecualinya.

Ø  Tiap-tiap warga Negara berhak mendapat pekerjaan dan perlindungan yang layak bagi kemanusiaan.

b.      Pada pasal 28 UUD 1945 dijelaskan:

Ø  Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisandan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.

c.       Pada pasal 29 UUD 1945 dijelaskan:

Ø  Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

d.      Pada pasal 30 UUD 1945 dijelaskan:

Ø  Tiap-tiap warga Negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pembelaan Negara.

e.       Pada pasal 31 UUD 1945 dijelaskan:

Ø  Tiap-tiap warga Negara berhak mendapat pengajaran.

f.       Pada pasal 33 UUD 1945 dijelaskan:

Ø  Bumi air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

g.      Pada pasal 34 UUD 1945 dijelaskan:

Ø  Fakigr miskin dan anak-anak terlantar dipeihara oleh Negara.

Peraturan lebih lanjut hak asasi manusia didalam undang-undang Nomor 39 tahun 1999 didalam pasal (1) dijelaskan bahwa hak asasi manusia antara lain: hak untuk hidup, hak berkeluarga dan melangsungkan keturunan, hak mengembangkan diri, hak wanita (kuota 30% bagi perempuan di pemerintahan).

Adapun pelanggaran hak asasi manusia yang berat dijelaskan dalam pasal 7 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2006: pelanggaran hak asasi manusia yang berat meliputi:

a.       Kejahatan genosida yang dijelaskan dalam pasal 8 UU No 26 tahun 2006.

b.      Kejahatan kemanusiaan yang dijelaskan dalam pasal 9 UU No 26 tahun2006.

E.  Pembagian Bidang, Jenis dan Macam Hak Asasi Manusia Dunia :[4]

1.         Hak asasi pribadi / personal Right

a.         Hak kebebasan untuk bergerak, bepergian dan berpindah-pndah tempat

b.        Hak kebebasan mengeluarkan atau menyatakan pendapat

c.         Hak kebebasan memilih dan aktif di organisasi atau perkumpulan

d.        Hak kebebasan untuk memilih, memeluk, dan menjalankan agama dan kepercayaan yang diyakini masing-masing

2.      Hak asasi politik / Political Right

a.         Hak untuk memilih dan dipilih dalam suatu pemilihan

b.        hak ikut serta dalam kegiatan pemerintahan

c.         Hak membuat dan mendirikan parpol / partai politik dan organisasi politik lainnya

d.        Hak untuk membuat dan mengajukan suatu usulan petisi

3.      Hak azasi hukum / Legal Equality Right

a.         Hak mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan

b.        Hak untuk menjadi pegawai negeri sipil / pns

c.         Hak mendapat layanan dan perlindungan hukum

4.      Hak azasi Ekonomi / Property Rigths

a.         Hak kebebasan melakukan kegiatan jual beli

b.        Hak kebebasan mengadakan perjanjian kontrak

c.         Hak kebebasan menyelenggarakan sewa-menyewa, hutang-piutang, dll

d.        Hak kebebasan untuk memiliki susuatu

e.         Hak memiliki dan mendapatkan pekerjaan yang layak

5.      Hak Asasi Peradilan / Procedural Rights

a.         Hak mendapat pembelaan hukum di pengadilan

b.        Hak persamaan atas perlakuan penggeledahan, penangkapan, penahanan dan penyelidikan di mata hukum.

6.      Hak asasi sosial budaya / Social Culture Right

a.         Hak menentukan, memilih dan mendapatkan pendidikan

b.        Hak mendapatkan pengajaran

c.         Hak untuk mengembangkan budaya yang sesuai dengan bakat dan minat



[1] Ubaidillah, A dkk; Demokrasi hak asasi manusia dan masyarakat madani., cet. Ke 7., Kencana.,2011., hal.110
[2] UU No.39 Thn 1999 tentang hak asasi manusia
[3] Prof. A. Masyhur Effendi, HAM dalam dimensi dinamika yuridis,social, politik,(Bogor:Gholia Indinesia 2007) hal: 18
[4] www.organisasi.org/ HAM yang berlaku umum (13-07-2006)